LEPASNYA PULAU SIPADAN-LIGITAN
DARI INDONESIA PADA TAHUN 2002

Wilayah merupakan salah satu unsur terpenting bagi suatu  negara, dikarenakan wilayah merupakan tempat negara melaksanakan kedaulatannya. Wilayah merupakan ruang di mana orang menjadi warganegara yang bersangkutan hidup dan menjalankan segala aktivitasnya. Wilayah negara sebagai salah satu ruang, tidak saja terdiri atas daratan atau tanah tetapi juga perairan dan ruang udara. Dalam  sejarah manusia maupun negara-negara, kerap terjadi konflik antarnegara yang bersumber pada masalah batas wilayah. Konflik ini bisa disebabkan oleh karena keinginan untuk melakukan ekspansi wilayah maupun ketidakjelasan batas-batas wilayah antarnegara. Sengketa Pulau Sipadan-Ligitan merupakan persoalan konflik yang bermuara dari persengketaan dua negara yaitu antara Indonesia dan Malaysia terhadap suatu wilayah yang mana klaim terhadap wilayah tersebut dilandasi oleh tujuan memperoleh keuntungan dan penguatan negara melalui penambahan wilayah Indonesia dan Malaysia menghadapi sengketa wilayah selama 33 tahun, yakni sejak tahun 1969 sampai dengan tahun 2002. Mengingat pentingnya wilayah bagi suatu negara, maka batas-batasnya harus jelas untuk menghindari kemungkinan sengketa dengan negara-negara lain.[1] Masalah perbatasan merupakan bagian penting dari ketahanan dan keutuhan suatu negara.
Belajar dari teori yang dikemukakan Geoffrey Till mengenai teorinya mengenai kebijakan luar negeri, ekonomi, dan pertahanan. Disini kita dapat memahami konflik sengketa perbatasan untuk memenuhi kebutuhan kekuasaan wilayahnya, seperti kebutuhan ekonomi dan kebutuhan politik.
Lepasnya pulau Sipadan-Ligitan tersebut ke Malaysia merupakan pelajaran bagi Indonesia agar dalam mempertahankan NKRI. Sebenarnya Indonesia masih bisa membicarakan hal ini dengan Malaysiadengan menganggap masalah teritorial adalah persoalan politik bukan hanya persoalan hukum. Masalah lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan adalah kesalahan kebijakan politik pada masa pemerintahan Presiden Soeharto hingga pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri.[2] Sumber dari permasalahan lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan adalah kesalahan kebijakan politik pada era pemerintahan Presiden Soeharto yang hanya mempersoalkan wilayah Negara dari segi hukum saja sehingga mencari solusi ke Mahkamah Internasional.[3]
Permasalahan awal dari persengketaan Pulau Sipadan-Ligitan antara Indonesia dengan Malaysia mencuat pada tahun 1967 ketika dalam pertemuan teknis hukum laut antara kedua Negara masing-masing Negara ternyata sudah memasukkan Pulau Sipadan-Ligitan ke dalam batas-batas wilayahnya karena mulanya Pulau Sipadan-Ligitan adalah pulau yang ‘tak bertuan’. Lalu Indonesia dan Malaysia sepakat agar Pulau Sipadan-Ligitan dinyatakan dalam keadaan status quo, akan tetapi pengertian ini diartikan berbeda oleh Malaysia. Pihak Malaysia malah membangun resort pariwisata baru yang dikelola oleh pihak swasta Malaysia karena Malaysia menganggap status quo masih berada di bawah Malaysia sampai persengketaan selesai. Sedangkan pihak Indonesia mengartikan status quo ini berarti kedua pulau tidak boleh ditempati atau diduduki sampai persoalan kepemilikan selesai. Pada tahun 1969, pihak Malaysia secara sepihak memasukan dua pulau tersebut ke dalam peta nasionalnya. Dengan kondisi demikian, maka Pulau Sipadan dan Ligitan terbuka untuk klaim kepemilikan. Klaim kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan mengandung dua motif yaitu, motif politik dan motif ekonomi.
Permasalahan lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan tidak terlepas dari peran dan hubungan yang sinergis antara lembaga eksekutif dan legislatif yang seharusnya satu sama lain mendukung dan bukan saling menyalahkan setelah keputusan kebijakan politik tersebut diambil.[4]
Kehidupan sosial ekonomi masyarakat khususnya dalam kasus lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan pada umumnya dipengaruhi oleh kegiatan sosial ekonomi di negara tetangga (Malaysia).[5]  Kenyataannya masyarakat di wilayah perbatasan masih kurang terjangkaunya akses seperti akses jalan, makanan dan bahkan kurangnya akses listrik.
Dalam kasus lepasnya pulau sipadan ligitan ini, penulis beropini bahwa masalah lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan kepada Malaysia merupakan pelajaran bagi pemerintah Indonesia agar lebih mempertahankan lagi negara Kesatuan Republik Indonesia untuk lebih mengakui dan mencatat pulau-pulau kecil yang ada di sekitar wilayah Indonesia agar tidak ada lagi pulau yang hilang atau direbut oleh negara lain. Dan juga pemerintah Indonesia harus lebih meningkatkan lagi akses akses yang ada di wilayah perbatasan agar masyarakat wilayah perbatasan tidak bergantung hidup pada negara tetangga.


[1] LB. Moerdani, Menegakkan Persatuan dan Kesatuan Bangsa, Pandangan dan Ucapan Jenderal TNI (Purn) LB. Moerdani 1988-1991. Jakarta: Yayasan Kejuangan Panglima Besar Jenderal Soedirman, 1992, hlm. 39.
[2] “Memanasnya Hubungan RI-Malaysia”, diperoleh dari http://www.politik.lipi.go.id.
[3] LB. Moerdani, Op. Cit, hlm. 51.
[4] Pandangan Morgenthau mengenai konsep ini dapat ditemukan dalam Theodore A. Columbis dan James H. Wolve, “Introduction to International Relations, Power and Justice”, New Jarsey: Prentice Hall, 1982, ditulis dalam tulisan Bantarto Bandoro dalam Analisis CSIS “Aspek-aspek Internasional dalam Integrasi Nasional”, Tahun XXIII No. 5, September-Oktober 1994.
[5] Ibid




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Poros Maritim Dunia